Masa Lalu Tertinggal  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah

Aku adalah jari jari
Memegang
Roda putar bumi
Tenang disisi panikku
Mengetuk rasa membawaku

Disini tersenyum
Disatu diri kumelamun
Terangi sisi gelapku
Merenung...
Arah menuntunku

Sadari langkahku
Dicelah bumi
Ku terpaku
Mencari arti hidupku
Yang baru
Relakan nafasku

Kumenunggu datang terang
Biarkan gelap menghilang
Bantu aku tuk menunggu
Roda membawaku

Dan kini kubiarkan
Masa lalu menghilang
Dan tanpa beban
Aku meninggalkan belakang

Lalu kubiarkan
Masa lalu menghilang
Tanpa beban
Aku meninggalkan belakang

Aku Duniaku  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah

Selalu saja mimpi membuatku terlena
Melantunkan lagu oasis yang menggiurkan jiwa yang haus ditengah padang sahara
Aku tergiur
Aku mulai gila
Dasar sastra
Menerbangkan jiwa yang terkungkung
Masa kecil yang penuh batasan
Setitikpun aku tak menyalahkan batasan
Sepenuhnya aku sadar batasan adalah suatu garis
Yang membedakan mana hitam mana putih
Hah.
Sastra engkau tak berkelamin tapi cantik
Engkau memelukku tapi kau tak punya raga
Terlenaku merangsek-rangsek raga yang mati terkurung sunyi
Bumi kau beri warna-warni
Menutupi kejamnya dunia dengan cinta
Aku tak peduli apa kata mereka
Yang mengatakan sastraku dusta
Aku ingin menjelajahi dunia mimpi, dunia nyata, dunia baka, dengan pena
Aku ingin memeluk semua itu dengan berjubahkan sastra
Baik atau jelek mereka yang menilai
Aku hanya berkarya
Berkarya dengan hatiku
Yang dituntung dengan pikiranku
Aku bukan bergaya
Aku hanya tengah berdiri
Dari kebancianku selama ini
Aku tak tahu apakah kini aku terlalu aku
Aku atau tidaknya aku hanya kalian yang tahu
Tamparlah aku jika ke akuan ku mulai mengusik hidup kalian
Tapi jangan sekali-kali kalian mengusik kala aku tengah bercinta
Bercinta dengan duniaku
Dunia penaku

Cahaya Senja  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah


Datangnya hujan di iringi mendung
Datangnya pagi di iringi fajar
Tapi datangnya takdir tak di iringi kabar
Datangnya masa depan di iringi misteri
Semampai rumput bergoyang di padang savanna
Mahligai cerita membuai angan melayang menembus angkasa
Alunan gitar mendayu mengalir mengikuti udara
Tersentak aku mengetahui bebanmu
Beban yang diam-diam menggerogotimu
Menyelinap dari sudut terselip menyisakan perih
Aku ternganga tak berdaya
Melihatmu menahan derita sendirian dalam hampa
Tapi senyumanmu membuatku mengira semua baik-baik saja
Senyum ketulusan menghiasi warna
Apalah yang bisa kuperbuat
Andai saja bisa
Aku akan meminta kepada tuhan
Biarlah deritamu untukku saja
Karena aku takkan memaafkan diriku sendiri
Jika aku tak bisa berbuat apa-apa
Kembalilah sejenak ke bumi peraduanmu, Jakarta
Maafkan aku yang tak bisa berada di sampingmu senja
Kumohon segeralah kembali bersinar menerpa ragaku
Karena kaulah cahaya senjaku
Cahaya yang membuatku lupa akan beban di pundakku
Segeralah kembali ke lautan ilmu
Percayalah doa-doaku menyertaimu
Meski doaku tak sekeramat doa ibu dan ayahmu
Percayalah, doa ini berasal dari ketulusan hatiku
Percayalah aku mencintaimu senja
Kuatlah
Berjuanglah
Berdirilah
Wahai engkau cahaya senjaku

11 April 2012

Suara Di Pagi Buta  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah


Mendengung simphoni malam yang membangunkanku dari dunia mimpi, dan menyeretku untuk kembali berdiri dalam alam yang begitu menyebalkan. Menyebalkan tapi tak dapat terelakkan, menyebalkan tapi indah dan mengagumkan, menyebalkan karena akulah yang sering mengabaikan. Kusirami qalbu yang haus dengan air do’a, dan kuingat bahwa dalam selimut malam ini kumelupakan lagi kewajiban yang seharusnya tak begitu saja kuremehkan, kewajiban yang bahkan manusia paling mulia memperjuangkannya dengan menghadap langsung pada sang Pencipta. Kewajiban yang dilaksanakan lima kali dalam sehari, lebih dua waktu dari normalnya orang meminum obat, tapi obat ini lebih ampuh. Memuaskan kehausan jiwa, mengeyangkan hati, meski terlampau sering aku tak mengeyamnya. Abidah El-Khalieqy dalam karyanya yang berjudul ‘GeniJora’ mengungkapkan, ‘Menunda makan, jadi lapar. Menunda minum, kehausan. Menunda kerja, melarat terus. Dan menunda bertemu, akan merindu. Kebaiakan macam apakah yang dihadiahkan oleh menunda? Tapi aku heran, kala menunda shalat, aku merasa biasa-biasa saja. Mungkin hatiku masih kaku, atau bahkan mati. Sehingga seruan Tuhan yang begitu jelas dalam firmanNya, dalam hadits yang disampaikan RasulNya. Ah entahlah, sebatas inilah kemampuan hambamu ini ya Allah.
Innal Hayaata Aqiidatun WaJihaadun. Sesungguhnya hidup adalah prinsip dan perjuangan. Kata itu digumamkan oleh Abidah El-Khalieqy. Tak jauh dari kata Life Is Stugle. Dan kini satu pertanyaan muncul, ‘Sudahkah aku berjuang?’. Dalam umurku yang kini telah menginjak 17, aku bahkan tak merasa pernah membahagiakan orang tuaku, hanya kekecewaan yang selama ini kupersembahkan. Aku tak pernah bisa memberikan amal yang baik kepadaTuhanku, hanya kemaksiatan yang melumuriku bagai lumpur panas yang menenggelamkan bumi sidoarjoku.
Ana urid, wa anta turid, wallahu yaf’alumaa yurid. Itu yang dituliskan haibara di twitternya. Sindiran yang sangat halus tapi sungguh berasa. Sosok seorang haibara, bagaiakan wanita yang tengah duduk diatas kuda perang, dengan menggenggam pedang yang siap menebas leher-leher para kafir yang terus saja mencoba merobohkan dinding agama islam. Haibara lebih dari orang yang telah mencuri perhatianku, ia telah mencuri keangkuhanku, dan menapmparku untuk mau menoleh kepada hak-hak seorang ‘Wanita’. Hak seorang wanita untuk memilih, hak seorang wanita untuk dihargai, tak Cuma sebagai makhluk pemuas nafsu para kaum adam, tak hanya sebagai makhluk pelengkap dalam cerita kehidupan. Haibara menyispkan pendidikan gender padaku dalam setiap tutur katanya, dalam setiap keputusannya. Selama ini aku memang berkehendak untuk memilikinya, anganku untuk dapat mendekapnya lebih besar dari lautan. Tapi semua itu ia patahkan dengan prinsip yang bahkan lebih dalam dari lautan inginku, lebih luas dari angkasa anganku. Aku sering tertawa sendiri, tertawa dengan sedikit terasa kecut tapimanis. Nafsuku diinjaknya, ego ku diacuhkannya. Setiap untaian katanya selalu membuat hatiku menggumam ‘Allah’, dan setiap prinsip yang teguh berdiri dalam hatinya membuatku mengucap ‘Subhanallah’. Entah, ini kejujuran ataukah dusta? Mungkin memang ada yang mengatakan bahwa untaian kata adalah perwakilan dari suara hati. Tapi aku benci, aku benci pada orang yang menggunakan untaian kata untuk memuaskan nafsu radikalnya, menggunakan kata mendayu-dayu hanya untuk mengecam pemerintah. Memang pemerintah memiliki segala kekurangan, memang pemerintah sering melakukan kesalahan. Tapi pernahkah kita membayangakan, bagaimana nasibnya rakyat ini tanpa pemerintah. Bukannya aku bermaksud untuk pro pemerintah, aku hanya ingin menghargai kata Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin yang mengatakan ‘Suatu kaum yang dipimpin seorang pemimpin dzolim, itu lebih baik dari pada kaum yang tidak mempunyai pemimpin’.
Aku yakin kala ada orang yang membaca tulisan ini akan mengatakan, ‘Manusia macam apa kau ini? Tidak mau memperdulikan nasib rakyat miskin, tidak mau menoleh sejenak pada bangsa kita yang terabaikan. ’Bukan maksud ku untuk tidak memperdulikan nasib rakyat miskin, aku hanya ingin mengingatkan cara pandang bangsa kita, yang mengaku berdasarkan ‘Pancasila’ dan beragama ‘Islam’. Sebelum aku melanjutkan, aku ingin bertanya. ‘Apakah pancasila mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang patriarki?Apakahnabi Muhammad SAWmengajarkankitamenjadimanusia yang menyuarakan demokrasi berselimut anarki? ’Sah-sah saja memang kita menyuarakan aspirasi, bahkan UUD 1945 melindungi kita dalam pasal 28 yang memperbolehkan setiap warga negara Indonesia menyampaikan pendapatnya memalui lisan maupun tulisan. Tapi apakah harus dengan cara saling baku hantam? Atau dengan cara menyamakan presiden dengan kerbau? Hah. Demokrasi macam mana pula itu?! Sudah cukup membahas demokrasi, karena aku masih bayi dalam literatur tentang  ‘Demokrasi’. Biar saja kaum yang mengaku intelektual itu menyuarakan demokrasi dengan cara mereka sendiri, yang penting aku tak ingin mengenal demokrasi mereka. Lakum diinukum waliyadiin.
03 April 2012/03.05
Faiz Ahmad Nuzuliansyah

Petang  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah


Terlentang menantang
Menggelegar berpura tegar
Tak satupun kata terucap
Bibir bisu mengecap
Tak terasa putus asa
Mati rasa berkabut senja
Berteriak berselimut harapan
Petang
Kala harapan tak kunjung datang
Kini ragalah yang mengambil andil
Sastra bercampur dengan gejolak jiwa
Jadzab entah apalah namanya
Beruzlah di tengah keramaian
Santai
Bergelayut gontai
Terseok-seok berkerangka tulang
Kami disebut hidup
Kami disebut mati
Dihantam dari kanan dan kiri
Ditikam dari depan belakang
Sakit??
Pastinya
Apalah artinya?!
Perih sudah terasa biasa
Hati kami sudah terlanjur sekarat
Setiap saat di sayat-sayat oleh mulut-mulut kejam mereka
Mulut yang merasa benar di atas segalanya
Persetan sudah dengan penderitaan
Itulah kudapaan dan hidangan kami hampir di setiap membuka mata
Cemohan dan umpatan sudah terdengar seperti alunan musik di telinga kami
Tak becus
Dungu
Goblok
Sudah seperti handal
Pintar
Jenius
Dalam kamus hidup kami
Peduli setan dengan mulut kalian
Inilah kami yang tetap berdiri
Berdiri dengan hati perih tapi tersenyum bak peri
Dusta?!
Memang
Pedulikah kami??!?
Tentu tidak
Barakah?!
Entah dapat atau tidak
Inilah pengabdian kami
Sebelum kami mengangkatkan kaki dari lautan ilmu ini
Kami telan pahit
Kami lumat Umpatan
Seperti memakan hidangan di ruang makan kerajaan
16 Maret 2012 13:20

Cerita Senja  

Posted by Faiz Ahmad Nuzuliansyah


Jum’at 17 Februari 2012
*15:27*
Bosan mulai menghinggap di ruang lobi kantor yayasan pondok pesantren Bahrul Ulum di jumat sore ini. Aku dan panitia HUMAPON 2012 sedang mengadakan rapat untuk Opening Ceremony, ruang rapat terasa penat, meski AC yang dari tadi menghembuskan udara dingin. Sejak pagi kami sudah duduk di ruangan ini untuk membahas Opening Ceremony, yakni acara pembukaan yang akan dilaksanakan sebulan lagi. Senja mulai menyapa, dan terdengar pasti kata saudara Math’laul Anwar yang menutup rapat pada sore hari ini “Mari kita tutup rapat pada sore hari ini dengan bacaan Ummul Qur’an dan berharap semoga acara kita berjalan dengan lancar dan sukses. Liridhaaillahi Ta’alaa Al-Fatihah”.
Aku berpamitan kepada teman-teman panitia HUMAPON untuk kembali ke pondok Bumi Damai Al-Muhibbin yang terletak 1 km arah selatan dari kantor yayasan pondok pesantren Bahrul Ulum. Saat kuberjalan sendiri dengan menatap langit yang mulai berwarna orange, aku baru teringat. Bahwa hari ini 17 Februari 2012, umurku menginjak 17 tahun. Akhirnya aku memutuskan untuk mampir sebentar di warnet, hitung-hitung refreshing sekalian lihat kabar di FB. Profil FB mulai tampak di mataku, banyak teman yang mengucapkan Happy Birthdays. Saat aku melihat pesan masuk, ternyata ada pesan masuk dari ‘Haibara’, dia adalah seorang wanita yang bisa dikatakan telah mencuri perhatianku. J Haibara adalah orang yang berbeda di mataku, dia begitu istimewa, berbeda dengan yang lainnya. Ya mungkin banyak dari anda yang tidak setuju dengan pendapat saya, karena bagaimanapun orang yang kita sayangi selalu tampak lebih baik dari yang lain, bukannya begitu? J Kubaca pesan dari haibara, dan berharap bahwa ia akan mengucapkan selamat ulangtahun yang paling indah. Tapi kenyataan nampaknya tidak setuju dengan harapanku, haibara tiba-tiba marah padaku, dia mengatakan bahwa ibunya memarahinya habis-habisan karena nilainya merosot, dan penyebabnya adalah aku. Setelah membaca pesan itu beberapa perasaan bercampur menjadi satu, antara bingung, kaget dan tak percaya. Lalu aku anggap semua itu hanya kemarahan haibara yang pastinya akan segera surut.
Esoknya. Hari sabtu sepulang sekolah, aku janji dengan Mambaul Sholeh Hakim dan Habiburrahman Nawawi untuk stand by di kantor kesekretariatan, karena ada beberapa surat yang perlu dipersiapkan. Setelah surat siap, aku ngeprint di awiska, yakni warnet yang berada tepat di samping kantor yayasan PPBU, dikarenakan saat itu kami masih belum mempunyai printer sendiri. Saat di awiska, aku melihat haibara sedang ngenet. Dia diam saja, begitu juga aku, yang masih memendam perasaan bingung kaget dan heran yang bercampur menjadi satu. Setelah dari awiska, aku kembali ke pondok. Berjuta Tanya menyelimuti pikiranku, apakah benar semua ini terjadi? Kutengok warnet di pondok dan Alhamdulillah ada yang kosong. Ketika aku melihat profil haibara, ternyata pertemanan sudah di putus, ya Allah aku shock sekali. Kemudian aku melihat di timeline twitter haibara ada tulisan begini “Muak! Ndang ngalih po’o!!” dan waktu timeline itu di tulis, tepat sekali saat aku berada di awiska satu setengah jam lalu. Oh god.
Aku melangkah kembali ke kamar, dan hatiku bergetar hebat. Aku shock. Kurebahkan badanku sejenak, mencoba menjernihkan pikiran yang sedang kalang kabut. Samar bunyi adzan magrib berkumandang. Aku bangkit dan membenamkan pikiranku dalam pelukanNya, kupanjatkan doa, beristigfar. Setelah ku menghadap sang khaliq, kudekap kitab suciNya, dan mulai melantunkan surat Ar-Rahman. “Ar-rahman. Allamal qur’an. Khalaqal Insaan. ‘Allamahul bayan.”

@@@@@
Senin 20 Februari 2012
*17:40*
Kuberjalan sendiri di senja yang terasa hambar, hatiku masih berjelaga di dalam kabut. Meski aku masih bisa tersenyum, tapi badanku rasanya ingin roboh, terlebih lagi hatiku. Karena sudah 3 hari ini aku belum memejamkan mata. Kumantapkan hati untuk melangkah menuju pesarean mbah Kyai Wahab, aku ingin sowan ke beliau, meletakkan sejenak beban di hati. Di dalam pesarean aku bercerita tentang keluh kesahku kepada beliau, meski aku tahu beliau sudah berbeda dunia denganku. Tapi di dalam hati, aku yakin beliau mendengarkan ceritaku. Karena aku pernah mendengarkan dawuh romo kyai Djamaluddin, bahwa para ulama yang meninggal itu sesungguhnya masih bisa mendengarkan kita.
*22:36*
Kembali ku menggoreskan ceritaku di dalam buku diary yang selama ini setia menemani hari-hariku. Aku mulai bisa berdiri, kusadari tak sepatutnya aku terus terpuruk seperti ini, because tomorrow never come too late. J Dan aku harus mempersiapkan diri, mental dan juga hati. Karena rabu besok aku harus berangkat ke SMAN 3 Jombang, untuk mengikuti speech contest. Aku gak mau mengecewakan miss Efi Fadhilah yang telah memberikan begitu banyak kepercayaan padaku. Dan hari itu aku sudah mulai bisa tersenyum ringan, meski mataku masih saja belum bisa terpejam.

@@@@@

Selasa 21 Februari 2012
*10:50*
Di dalam perpustakaan MAN Tambakberas aku berlatih pidato sendiri, karena miss Efi Fadhilah masih ada rapat yang harus di hadiri. Saat aku mencoba menghafal teks pidato yang mulai membuat kepalaku pusing, selain karena susah, juga karena tubuhku yang lemah karena kurang tidur. Ainin Basyirah dan Aini Sunnia, teman seperjuangan di OSIS juga teman sejak MTsN Tambakberas dulu, datang dengan membawa plastik hitam. Ainin menghampiriku dan menyodorkan plastik yang dibawanya. “Iz, nih kado dari haibara. Katanya bukanya nanti aja setelah pulang sekolah”, aku kaget dengan kata-kata ainin. “Kembalikan ke haibara aja nin, bilang makasih. Tolong jangan ganggu aku dulu nin.” Aku mencoba menolak kado yang dibawa ainin, bagiku jika haibara memutuskan hubungan, lebih baik putus sekalian, tanpa ada kado atau apapun. Karena sungguh menerima kado ini rasanya seperti menyelipkan duri dalam hati yang sudah tersakiti. Ainin memaksaku untuk menerimanya, dan akhirnya ainin meletakkan kado itu begitu saja dihadapanku. “Yaudah, nih kado aku aku taruh sini aja, kamu terima atau nggak terserah kamu”.
*13:15*
“Kita istirahat dulu iz, kamu shalat dulu sekalian makan. Nanti kita lanjutin lagi”, kata miss Efi Fadhilah seraya membereskan tasnya, akupun membereskan bukuku. Aku duduk sejenak dan melihat kado dari haibara yang sembari tadi tergeletak sendirian, ku ambil kado itu. “Buka nggak ya?” hatiku bimbang. “Ah buka aja deh, hitung-hitung kenangan terakhir, meski pahit rasanya”. Kusobek bungkus coklat yang menyelimuti kado itu, kubuka kotaknya. Tapi di dalamnya tidak kutemukan apapun kecuali sobekan kertas yang di potong panjang-panjang. “Yaaah Cuma kertas doang. Eh ini apaan?”, Aku menemukan kertas yang dilipat. Saat aku membukanya, ternyata surat. Dengan hati deg-degan kubaca surat itu. Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday Abaaanng (^_^) Sepertinya tiga hari sudah sangat cukup untuk melihat betapa sengsaranya abangku, maaf ya, semua ini hanya rekayasa karya @ndaripda. “Astagfirullah!!!”. Sesaat setelah membaca surat itu, aku marah besar. Aku gak suka banget, karena gara-gara semua ini aku hampir aja mengundurkan diri dari lomba pidatoku. Ku tarik nafas mencoba menguasai diri, aku melangkahkan kakiku menuju mushalla. Kuambil air wudlu, dan bersujud pada Ilahi.
14:05
Angin berhembus menerpa wajahku di depan mushalla siang itu, kutenangkan sejenak pikiranku. Ku pandangi sekeliling, anak-anak Pagar Nusa, anak volley, dan takraw, sedang latihan. Saat mataku tertuju ke ruang konferensi, aku melihat sosok yang saat ini membuat hatiku dirudung gundah. Haibara! Kulihat dia melangkahkan kaki keluar dari kampus MAN Induk, saat itu pula aku berdiri dan berjalan mengejarnya. Tiba di gerbang, aku melihat haibara berdiri di gerbang Islamic centre. Dengan langkah yang penuh amarah, aku menghampirinya. Haibara menangkupkan kedua tangan di wajahnya, dengan tersenyum ia mengatakan “Maaf ya, maaf”. Aku berdiri di depan haibara dengan menahan emosi yang tengah membuncah. “Kamu kira semua ini lucu?!?!!! Gak lucu!!”. Seketika itu juga aku angkat kaki kembali ke perpustakaan untuk meneruskan latihan pidato.
15:43
“Pidato kamu sudah lebih baik iz, tinggal latihan tanya jawabnya. Tapi ini sudah sore iz, saya ada janji dengan keluarga. Nanti kamu latihan tanya jawab sendiri ya di pondok?” Kata miss Efi Fhadilah yang tengah duduk di depanku. “Iya miss, nanti saya latihan sendiri di pondok.” Aku berbalik dan membereskan tasku. Tak sengaja kutemukan surat dari haibara yang tertindih tas, kubaca lagi surat itu. “Astagfirullah, kenapa aku marah ya??!! Ya Allah haibara maafkan aku.” Aku mulai sadar, bahwa haibara tidak salah. Aku lah yang salah, terlalu terbawa emosi, emosi yang berasal dari perasaan takut. Ya aku takut sekali kehilangan haibara. Aku berlari menuju kelas X-4, karena di situlah tempat ekstranya haibara. Tapi tak kutemukan satu orangpun dalam ruangan yang sepi itu. Langkahku gontai, aku merasa sangat bersalah telah marah pada haibara. Tiba di gerbang, aku melihat akbar di depan Islamic centre. “Bar kamu lihat haibara gak?”,  “Enggak iz, kenapa?”, “Gak apa-apa bar”. Aku mulai lemas. Kepalaku pusing. Saat aku memutarkan pandangan, aku melihat laura di atas Islamic centre. “Laura!!! Lihat haibara gak?”, “Itu iz, disana. Bentar tak panggilin”.
Hatiku mulai lega mendengar ucapan laura, tak lama kemudian haibara muncul. Wajahnya sembab dan terlihat cemas. Dari bawah aku berteriak, “Haibara maafin abang, abang tadi marah bukan karena abang benci kamu, tapi abang marah karena abang takut kehilangan kamu.”, wajah haibara masih terlihat cemas. Haibara mulai berbicara, “Beneran abang gak marah???”, “Iya abang gak marah, tapi kamu jangan nangis ya?”, “Enggak, aku nggak nangis kok.”, haibara mulai tersenyum dan menghapus airmatanya. Hatiku terasa lega, beban yang selama ini membuatku tak bisa memejamkan mata telah sirna. Aku melihat wajah haibara yang tersenyum, meski masih tersisa sedikit raut cemas di wajahnya. Aku tersenyum, dan berpamitan kepada haibara. Saat aku di gerbang, haibara berteriak, “Abaaaaang!! Semangat!!” seraya mengepalkan dan mengangkat tangannya. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum sendiri. “Ya Allah terimakasih atas nikmat yang telah Engkau berikan, sungguh ini adalah ulangtahunku yang paling indah”. Matahari mulai terbenam, dan bersama lukaku yang telah lalu.


Selasa, 20 Maret 2012
15:38